10 Kebiasaan Buruk Keuangan yang Diam-Diam Membuat Kamu Miskin (Dan Cara Memperbaikinya)

 


Sebagian orang merasa hidupnya “biasa-biasa saja”—gaji pas-pasan, tabungan tidak seberapa, dan selalu menunggu tanggal muda. Tapi tanpa disadari, ada pola-pola kecil yang terus diulang, yang pelan tapi pasti mengikis masa depan finansial mereka.

Bukan karena takdir. Tapi karena kebiasaan.

Dalam ilmu perilaku finansial (behavioral finance), kebiasaan adalah faktor dominan yang menentukan apakah seseorang akan menuju kemapanan… atau justru terus-menerus berada dalam siklus kemiskinan. Berikut ini adalah 10 kebiasaan buruk keuangan yang sering tak disadari tapi berdampak besar terhadap kesejahteraanmu. Jika kamu menemukan salah satunya dalam hidupmu, artikel ini bukan untuk menyalahkan. Tapi sebagai sinyal untuk berubah.


1. Tidak Punya Anggaran Bulanan

Hidup tanpa anggaran itu seperti naik mobil tanpa tahu ke mana arah tujuan. Banyak orang merasa cukup mencatat pengeluaran di kepala atau mengikuti “feeling”. Tapi penelitian dari Harvard Business Review menunjukkan bahwa orang yang membuat anggaran tertulis memiliki kontrol pengeluaran yang 30% lebih baik dibanding yang tidak.

Tanpa anggaran, uang cenderung bocor di pengeluaran kecil yang tidak terasa: jajan, ongkir, langganan yang tidak digunakan. Solusinya sederhana: mulai dari catatan manual di buku atau gunakan aplikasi seperti Money Lover, DompetKu, atau Spendee.


2. Selalu Menunda Menabung dan Investasi

Kebanyakan orang berpikir, “Nanti aja nabungnya, tunggu gaji naik.” Tapi hukum Parkinson dalam ekonomi menyebutkan: semakin besar penghasilan, semakin besar pula gaya hidup seseorang. Akhirnya, naik gaji tidak berarti naik tabungan—justru seringnya ikut naik cicilan.

Mulailah dari kecil. Bahkan Rp20.000 per minggu bisa membentuk kebiasaan dan mentalitas menabung. Setelah itu, bangun habit investasi otomatis, misalnya lewat reksadana di aplikasi Bibit atau Ajaib, meski cuma Rp50.000 per bulan.


3. Gaya Hidup Lebih Tinggi dari Penghasilan

Dalam psikologi keuangan, ini disebut dengan lifestyle inflation—pengeluaran meningkat seiring naiknya pendapatan, bukan karena kebutuhan, tapi karena gengsi. Ini yang membuat banyak orang tetap merasa miskin meskipun gajinya dua kali lipat dari lima tahun lalu.

Contoh sederhana: orang bergaji 5 juta merasa tidak cukup karena biaya nongkrong, skincare, gadget, dan outfit ikut naik. Padahal, banyak dari itu bisa dikontrol jika seseorang paham perbedaan antara kebutuhan dan keinginan.


4. Beli Barang karena Diskon, Bukan karena Butuh

Fenomena ini disebut “compulsive buying”—dorongan impulsif untuk belanja karena godaan eksternal, bukan kebutuhan internal. Psikolog konsumen menyebutkan bahwa diskon bisa menciptakan ilusi hemat, padahal justru mendorong pengeluaran tidak perlu.

Kamu bukan sedang menghemat Rp100 ribu saat beli barang diskon, kamu sedang menghabiskan Rp200 ribu untuk barang yang awalnya tidak akan kamu beli.


5. Tidak Punya Dana Darurat

Dana darurat adalah lifesaver finansial saat musibah datang: sakit, kena PHK, motor mogok, atau keluarga butuh bantuan. Tanpa dana darurat, orang sering terpaksa berutang dengan bunga tinggi atau menjual aset produktif.

Idealnya, dana darurat adalah 3–6 kali pengeluaran bulanan. Mulailah sedikit demi sedikit. Gunakan rekening terpisah, atau simpan dalam bentuk reksadana pasar uang agar tidak mudah diambil.


6. Mengandalkan Satu Sumber Penghasilan Saja

Kita hidup di era yang tidak pasti. Satu pekerjaan bisa hilang dalam semalam, seperti saat pandemi atau resesi. Orang yang hanya punya satu sumber penghasilan berada dalam posisi rentan secara ekonomi.

Mulailah membangun side income yang tidak mengganggu pekerjaan utama: freelance, jualan digital, afiliasi, atau konten online. Di artikel sebelumnya, saya sudah membahas 10 penghasilan sampingan dari internet yang jarang diketahui. Gunakan itu sebagai referensi awal.

BACA JUGA: 10 Ide Penghasilan Sampingan dari Internet Yang Jarang Diketahui


7. Berutang Konsumtif, Bukan Produktif

Utang sebenarnya bukan masalah—kalau digunakan untuk hal produktif seperti modal usaha, pendidikan, atau investasi properti. Tapi yang berbahaya adalah utang untuk memenuhi gaya hidup, seperti cicilan HP mahal, paylater fashion, atau kartu kredit demi liburan.

Ilmu keuangan menyebutnya dengan “bad debt”—utang yang tidak menghasilkan nilai tambah. Utang jenis ini hanya akan memperbesar beban dan memperpanjang siklus kemiskinan.


8. Tidak Mau Belajar Keuangan Pribadi

Literasi keuangan di Indonesia masih rendah. Data OJK tahun 2022 menunjukkan bahwa tingkat literasi keuangan hanya 49,68%. Itu artinya, lebih dari separuh penduduk belum paham soal pengelolaan uang, investasi, asuransi, atau pensiun.

Padahal, belajar keuangan tidak perlu mahal. Ada banyak channel edukasi gratis di YouTube seperti ZAP Finance, Fellexandro Ruby, atau podcast Finansialku. Luangkan waktu 15 menit per hari saja, dan kamu akan selangkah lebih maju dari mayoritas orang.


9. Mengabaikan Kesehatan Fisik dan Mental

Apa hubungannya kesehatan dengan kemiskinan? Banyak. Orang yang sering sakit akan lebih sering absen kerja, produktivitas turun, dan biaya pengobatan meningkat. Selain itu, kesehatan mental juga memengaruhi kemampuan seseorang dalam membuat keputusan finansial.

Seseorang yang sedang stres berat atau depresi cenderung belanja impulsif, malas menyusun anggaran, atau bahkan kehilangan semangat kerja. Karena itu, menjaga pola hidup sehat bukan cuma investasi fisik, tapi juga investasi keuangan jangka panjang.


10. Terjebak dalam Zona Nyaman Finansial

Ini yang paling berbahaya: merasa cukup dengan kondisi sekarang, padahal sebenarnya masih jauh dari aman. Orang yang sudah terbiasa “cukup-cukup saja” sering tidak sadar bahwa hidupnya bergantung pada rutinitas rapuh. Tidak ada dana pensiun, tidak ada rencana jangka panjang.

Psikolog menyebut kondisi ini sebagai learned helplessness—perasaan tidak berdaya karena terbiasa hidup pas-pasan. Padahal, peluang selalu ada bagi mereka yang mau bergerak, belajar, dan memperbaiki diri.


Penutup: Kesalahan Finansial Bukanlah Dosa, Tapi Akan Jadi Bencana Jika Tidak Diperbaiki

Kebiasaan adalah akar dari kondisi finansial kita hari ini. Jika kamu merasa terjebak dalam lingkaran miskin-miskin terus, jangan langsung menyalahkan gaji atau nasib. Lihat dulu ke dalam: apakah ada kebiasaan buruk yang selama ini kamu anggap wajar?

Berubah memang tidak instan. Tapi kesadaran adalah langkah awal menuju kehidupan finansial yang lebih sehat. Satu per satu, ubah kebiasaan buruk menjadi kebiasaan baik. Dalam 6 bulan, kamu akan melihat perbedaan nyata. Dalam 5 tahun, kamu akan berterima kasih pada dirimu yang hari ini memutuskan untuk berubah.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.