Mendobrak Tembok Korupsi: Mengulik Kualifikasi Presiden Bermental "Lee Kuan Yew" untuk Indonesia
Indonesia bukanlah Singapura. Negara kita jauh lebih besar, kompleks, dan diikat oleh sejarah yang penuh dengan kompromi politik dan budaya feodal. Namun, kondisi inilah yang justru menuntut seorang pemimpin dengan kualifikasi yang luar biasa. Membawa Indonesia keluar dari lingkaran setan korupsi dan optimalisasi sumber daya alam (SDA) bukanlah sekadar isu teknis, melainkan sebuah proyek restorasi bangsa yang fundamental.
Artikel ini akan mengupas secara mendalam kualifikasi presiden yang dibutuhkan, dengan menggunakan model kepemimpinan Lee Kuan Yew sebagai lensa analitis. Kita tidak akan lagi hanya sekadar merefleksikan, melainkan mengeksplorasi secara kritis bagaimana prinsip-prinsip tersebut harus diterjemahkan dan diterapkan di tengah pusaran politik Indonesia yang rumit.
1. Kualifikasi Pengetahuan: Bukan Sekadar Akademis, Melainkan "Forensik"
Pengetahuan yang dibutuhkan seorang presiden Indonesia bukan hanya penguasaan teori, melainkan pemahaman forensik atas sistem yang rusak. Mirip seorang dokter yang harus mendiagnosis penyakit kronis, seorang presiden harus tahu di mana letak kanker korupsi.
Audit Struktural SDA dan BUMN: Lee Kuan Yew fokus pada SDM karena ia tak punya pilihan lain. Presiden Indonesia harus berani melakukan audit struktural dan forensik terhadap sektor SDA. Pertanyaan investigatifnya adalah: Mengapa begitu banyak BUMN yang terus merugi? Siapa yang diuntungkan dari konsesi tambang dan perkebunan yang tumpang tindih? Pengetahuan yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk membaca dan memahami jaringan kepemilikan saham, transfer pricing, dan rekayasa tender yang selama ini menjadi sumber korupsi.
Reformasi Hukum yang Berani Mengubah Permainan: Koruptor di Indonesia tidak takut karena hukumnya lemah dan mudah diakali. Presiden ideal harus memiliki pemahaman yang eksploratif terhadap celah-celah hukum yang sengaja diciptakan, misalnya dalam undang-undang pertanahan, perizinan, atau tata ruang. Pengetahuan ini harus berujung pada visi untuk merevisi undang-undang yang pro-koruptor, bahkan jika itu harus menghadapi perlawanan dari para oligarki politik dan bisnis yang selama ini menikmati keuntungan dari status quo.
2. Kualifikasi Mental: Integritas "Kamikaze" dan Keberanian "Berperang"
Di Indonesia, menjadi pemimpin yang bersih seringkali diartikan sebagai "bunuh diri politik." Itulah mengapa mental seorang presiden harus melebihi batas-batas normal.
Komitmen Antikorupsi yang Memicu Badai: Lee Kuan Yew membangun CPIB dengan mandat yang sangat kuat, bahkan mampu menginvestigasi para menterinya sendiri. Presiden Indonesia harus memiliki mental yang sama: keberanian untuk membiarkan KPK, Kejaksaan, dan Kepolisian bekerja tanpa intervensi, bahkan jika itu berpotensi menjatuhkan teman-teman koalisinya. Mental ini menuntut kesiapan untuk kehilangan dukungan politik dan menghadapi gempuran media yang dibiayai oleh koruptor.
Keteguhan Menolak Tekanan Oligarki: Di balik kekayaan SDA, ada jaringan oligarki yang mengontrol politik dan ekonomi. Presiden harus memiliki ketangguhan mental untuk menolak intervensi dan tekanan dari para konglomerat yang mendanai kampanye. Penolakan ini bukan sekadar retorika, melainkan tindakan nyata seperti mencabut izin usaha, membubarkan kartel, atau menasionalisasi aset yang diperoleh secara ilegal. Mental ini adalah mental panglima perang yang siap bertempur, bukan manajer yang siap bernegosiasi.
3. Kualifikasi Jaringan: Membangun Koalisi "Sapu Bersih" dan Menggandeng Kekuatan Global
Korupsi di Indonesia adalah masalah sistemik yang melibatkan banyak pihak. Jaringan seorang presiden harus mampu memecah dan membangun ulang sistem ini.
Menciptakan Koalisi Berbasis Kebaikan, Bukan Kekuasaan: Lee Kuan Yew mengkonsolidasikan kekuasaan untuk stabilitas, namun dengan tim yang berintegritas. Presiden Indonesia harus memiliki kemampuan untuk membentuk koalisi politik yang berkomitmen pada reformasi, bukan sekadar pembagian kursi. Ini berarti presiden harus mampu mencari dan memberdayakan politisi muda dan bersih di berbagai partai, bahkan jika partai induknya sendiri terindikasi korup.
Menggandeng Kekuatan Global untuk Melawan Kejahatan Lintas Negara: Koruptor Indonesia seringkali menyembunyikan asetnya di luar negeri. Presiden harus mampu membangun jaringan diplomasi yang kuat untuk melacak, membekukan, dan memulangkan aset-aset tersebut. Ini membutuhkan pemahaman mendalam tentang hukum internasional, serta kemampuan bernegosiasi dengan negara-negara yang selama ini menjadi tempat perlindungan koruptor. Jaringan ini adalah senjata pamungkas untuk menunjukkan bahwa tidak ada tempat yang aman bagi koruptor.
Kesimpulan: Pemimpin yang Berani Menjadi Musuh Status Quo
Kualifikasi presiden ideal untuk Indonesia bukan lagi soal kepopuleran atau janji manis. Ia adalah seorang pemimpin yang berani menjadi musuh bagi status quo. Ia harus memiliki pengetahuan forensik untuk mengurai benang kusut korupsi, mental baja untuk melawan balik, dan jaringan strategis untuk membersihkan sistem.
Menggunakan Lee Kuan Yew sebagai cermin bukan berarti kita harus menjadi diktator, melainkan meneladani keberaniannya untuk memprioritaskan kepentingan bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Tanpa pemimpin dengan kualifikasi ini, kekayaan alam Indonesia akan terus terkuras, korupsi akan terus merajalela, dan janji kemakmuran akan selamanya menjadi ilusi.
Post a Comment